Senin, 21 Januari 2008

Televisi vs Budaya Lokal


Televisi vs Budaya Lokal

Siapapun percaya dan yakin, televisi bisa memberikan dampak yang luar biasa terhadap pemirsanya. Berbagai survey dan kejadian nyata menunjukkan, betapa dasyatnya kekuatan televisi. Tapi akhir-akhir ini, yang menjadi sorotan adalah dampak negatif dari televisi. Sedangkan pengaruh positif masih jauh panggang dari api. Kebanyakan pelaku industri televisi cenderung menerapkan jalan pintas untuk mengeruk keuntungan. Kunaon atau Kenapa? Salah satu dampak negatif yang disebarkan televisi, adalah terkikisnya budaya positif masyarakat kita.

Masyarakat yang seharusnya masih memegang adab ketimuran justru dipaksa menelan budaya yang bertentangan. Ketimuran, sudah berubah menjadi ketengahan lalu merambah kebaratan. Di kota besar seperti Jakarta, Surabaya atau Bandung, kebaratan tampaknya sudah mendominasi. Tengoklah cara bicara mereka, cara berpakaian, sikap dan perilaku serta banyak lagi lainnya. Jika Anda jeli, cara makan generasi sekarang juga sudah kebaratan. Memang tidak semua ketengahan atau kebaratan buruk dan tidak semua ketimuran bagus. Begitulah sifat budaya. Ada yang positif, tidak jarang pula yang negatif. Sayangnya, yang datang ke sini kebanyakan budaya barat dan tengah yang negatif. Sedangkan budaya positifnya nyaris terlupakan, sehingga budaya positif kita terancam. Persis seperti judul artikel ini. Lalu budaya positif apa yang kian terancam? Kenapa televisi yang disalahkan? Coba simak frase ini “Berani Kotor itu Baik!” yang dipopulerkan oleh produk sabun cuci Rinso. Renungkan baik-baik… Selama ini, kata kotor bermakna negatif. Secara harfiah, kotor itu berarti tidak bersih, kumal, kucel, berserakan dan fakta buruk lainnya. Korupsi misalnya termasuk dalam kategori perilaku kotor. Perlu pemilahan yang jelas, kotor seperti apa yang dimaksud. Penggunaan kata kotor dan ‘kotor’ akan bermakna beda dalam konteks tulisan. Dalam konteks verbal pun demikian. Tapi Rinso tidak melakukan pembedaan itu. Dulu muncul istilah Piktor (atau diplesetkan menjadi Viktor) kependekan dari pikiran kotor. Nah apakah Rinso sebagai pencetus “berani kotor itu baik”, mau bertanggung jawab terhadap interpretasi semacam itu? Bisa jadi ungkapan itu akan menjadi sebuah andalan baru para koruptor untuk berdalih. Dan ungkapan berani kotor itu baik, dikampanyekan demikian gencarnya terutama melalui televisi.

Tanpa pemilahan makna sama sekali. Apalagi yang menjadi target adalah anak-anak. Seberapa besar kemampuan interpretasi anak seperti yang dimaksud Rinso? Dia (Rinso) memberikan pekerjaan baru buat orang tua, agar memberikan pengertian yang tepat buat ungkapan itu. Padahal selama ini, sebagian besar orang tua sudah tidak mampu lagi mengontrol anak-anaknya, bahkan untuk menemani mereka menonton sejenak sekalipun. Iklan lain pun banyak berandil terhadap terancam punahnya sejumlah budaya baik. Sebagian mungkin tidak bersifat universal, tapi buat sebagian besar masyarakat Indonesia menjadi budaya positif. Misalnya, kalau mengerjakan sesuatu sebaiknya dengan tangan kanan, kecuali mereka yang kidal. Berapa banyak iklan yang menunjukkan dominannya tangan kiri? Makan dengan tangan kiri atau berbuat baik juga dengan tangan kiri. Contoh lainnya, kebiasaan bangun pagi. Ini menjadi budaya positif buat sebagian besar orang Indonesia. Lebih bagus lagi, bangun sebelum ayam berkokok. Tapi sejumlah iklan dengan bangganya menunjukkan sang endorser dengan sangat nyaman bangun setelah matahari bersinar terang, alias kesiangan.

Itu contoh-contoh kecil yang mungkin dianggap sepele oleh sebagian orang, tapi (saya yakin) dalam beberapa tahun ke depan akan punya dampak besar terhadap identitas bangsa ini. Dan pengaruh yang paling dasyat yang disebarkan televisi adalah tayangan infotainment. Saya sebenarnya lebih suka menyebut tayangan gosip, bukan infotainment (informasi yang menghibur) karena info berarti berita. Padahal tayangan itu, sebagian besar tidak bernilai berita dan tidak memenuhi kaidah berita. Dalam sejumlah literatur jurnalistik, berita itu diartikan sebagai sebuah fakta atau data baru yang sudah pasti (dapat dibuktikan kebenarannya) yang memiliki dampak penting atau menarik. Gosip… Apakah sudah bisa dibuktikan kebenarannya? Gosip hanya punya dampak menarik saja, dan tidak memenuhi syarat lainnya sebagai berita. Sebagian dari kita sejak kecil pasti sudah diajarkan, “Jangan ngomongin urusan orang lain” atau “Jangan membuka aib keluarga”. Sampai-sampai ada pepatah “menepuk air di dulang terpercik ke muka sendiri”. Dalam sejumlah agama pun, membicarakan aib orang lain atau urusan orang lain dilarang. Dosa! Bahkan dalam Islam, menggunjingkan urusan orang lain, langsung mendapatkan tiket VIP menuju neraka jahannam. Kenapa Tuhan melarang membicarakan orang lain (khususnya hal-hal buruk)? Karena dampaknya luar biasa. Orang yang dibicarakan akan malu, sakit hati dan rasa negatif lainnya. Iya kalau benar. Kalau faktanya tidak benar? Jika sudah begitu, akan muncul perilaku negatif baru sebagai akibatnya. Hukum alam memang demikian, hal negatif akan menghasilkan hal negatif dan membentuk lingkaran negatif.

Nah di televisi, menggunjingkan orang lain justru menjadi pelajaran wajib buat seluruh bangsa ini. Bahkan dalam sehari, sampai ada 50 “mata pelajaran” menggunjing orang lain. Bangsa ini diajarkan bagaimana membicarakan orang lain dengan hebat, penuh bumbu, trik dan sebagainya. Tak usah diajarkan pun, menggunjing dan membicarakan orang lain, sudah menjadi hobi banyak orang. Apalagi disuapi oleh televisi setiap hari. Maka jangan heran kalau bangsa ini pintar mengkritik tapi sangat bodoh dalam berbuat. Karena budaya positif mulai terkikis oleh budaya (baru) negatif. Hanya mereka yang memegang teguh budaya positif dan menghiraukan kebiasaan negatif, yang akan mencapai kemajuan. Contohnya para peraih medali emas olimpiade fisika, atau para jawara dunia bridge. Mereka pasti tidak sempat menggunjingkan Ahmad Dhani yang (dituduh) kawin siri dengan Mulan. Merekapun tidak tahu ada apa dengan Tamara Blezinsky, yang ribut dengan suaminya. Yang mereka tahu adalah berdoa, belajar dan bekerja keras secara cerdas.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

SePakaT....!!
sy sepakat dengan isi artikel ini. saat ini program2 TV lebih banyak menampilkan acara yang "gak mutu" alias gak berkualitas. apalagi stasiun TV swasta yg boleh dibilang 70% isinya sinetron, mending klo sinetronnya punya pesan moral yang jelas, tapi yg terjadi malah menggambarkan gaya kehidupan hedonis anak2 muda zaman sekarang yang cuma tahu baju bagus bermerek, badan langsing, mobil dan rumah mewah yang mentereng,clubbing, serta pacar yang ganteng atau cantik. apakah ini budaya yang benar-benar terjadi di indonesia??
belum lagi acara-acara infotainment yang seperti dijelaskan dalam artikel A'Ari diatas yg semakin menjamur, menyisihkan program-program yang memiliki sisi edukatif seperti berita, ensiklopedi or discovery chanel yg bisa nambah wawasan kita. sampai-sampai salah satu stasiun TV swasta mengganti slogan mereka karena sudah tidak ada lagi sisi edukasi dalam program2nya.

dalam realitasnya, acara hiburan memang dibutuhkan, akan tetapi televisi sebagai salah satu media informasi tidak harus full menayangkan acara hiburan dan gosip. Karena masih banyak hal lain yang bisa di explore dalam program televisi. Termasuk masalah budaya, kita bisa mengintrospeksi diri mengapa banyak dari budaya daerah kita yang diambil hak patennya oleh negara tetangga. hal ini karena kita kurang mempromosikan budaya2 daerah kita sendiri pada masyarakat dalam maupun luar negeri.

sebenarnya televisi bisa dijadikan alternatif memperkenalkan budaya daerah asli kita kepada generasi penerus selanjutnya, karena akan lebih efektif utk mengurangi ketidaktahuan & ketidakperdulian kita terhadap budaya lokal yang tidak jarang terjadi pada anak muda sekarang ini.
dengan ditayangkan di TV at list kita bisa sekedar "tahu" lalu "tertarik" dan diharapkan bisa timbul rasa ingin "menjaga" dan "memiliki" kebudayaan negeri sendiri...
dan bukan hanya tahu tahu kabar terbaru sang public figure saja...