Senin, 21 Januari 2008

Bahasa sunda



Bahasa sunda

Lenyapnya bahasa ibu, dengan demikian, akan membuat seseorang tak bisa lagi masuk ke dalam dunia yang menjadi identitas kulturnya, tempat di situ tersimpan berbagai sumber pengetahuan. Dan inilah yang telah terjadi dengan suku Zaparo, sebuah suku terbesar di Amazona. Mereka telah kehilangan sumber pengetahuan tradisional tentang obat-obatan tak hanya karena meninggalnya kepala suku mereka yang juga seorang dukun.

SEBAGAI satu dari 289 buah bahasa daerah yang masih hidup di Indonesia dan sebagai satu dari 13 buah bahasa daerah yang berpenutur di atas satu juta orang, bahasa Sunda rasanya termasuk bahasa yang paling dicemaskan kematiannya. Setidaknya nada minor terhadap kemerosotan penggunaan bahasa ini terus didendangkan dari waktu ke waktu.

Telitian sederhana yang dilakukan Kepala Balai Bahasa Bandung, Drs. Muh Abdul Khak, M.Hum. kembali menunjukkan nada minor yang sama. Objek penelitian Abdul Khak adalah keluarga Sunda-Sunda (suami-istri berasal dari suku Sunda) di sejumlah perumahan di Bandung. “Respondennya tinggal di kompleks perumahan-perumahan. Besar kemungkinan, penelitian yang sama terhadap penduduk yang tidak tinggal di kompleks menghasilkan angka berbeda,” kata Abdul Khak, Kamis (16/2).

Dari hasil penelitiannya terlihat, generasi pertama keluarga Sunda-Sunda masih menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa primernya. Sedangkan Bahasa Indonesia menjadi bahasa sekundernya. Akan tetapi, penguasaan bahasa Sunda generasi kedua keluarga ini selanjutnya menurun.

Banyak yang kemudian berkomunikasi dengan anak-anaknya dengan menggunakan bahasa Indonesia. Hal itu rupanya berdampak pada rendahnya penguasaan bahasa Sunda generasi ketiga keluarga Sunda-Sunda itu. Kecenderungan yang terjadi berikutnya seperti sebuah serangan balik, bahasa Indonesia mulai menggantikan bahasa Sunda menjadi bahasa primer mereka.

Apa penyebab pergeseran semacam itu? Sebabnya bisa berbeda-beda. Bisa karena munculnya industri seperti hasil penelitian Keller (1964). Cooper (1978) menunjukkan bahwa peran bahasa yang menjadi lingua franca (dalam hal ini termasuk bahasa Indonesia) yang mendesak bahasa daerah. Sumarsono (1993) menyebutkan bahwa agamalah yang bisa mendukung pemertahanan bahasa daerah. Dalam penelitian Abdul Khak, kendalanya adalah undak usuk basa. Tapi, tentu saja, penyebabnya tidak tunggal.

Persoalannya kini, bagaimana mengatasinya? Guru Besar Universitas Indonesia, Asim Gunarwan mengutip sebuah penelitian, menyebutkan bahwa formula yang ditawarkan untuk pemertahanan bahasa daerah itu sering kali kurang signifikan untuk membuat bahasa itu bertahan.

Solusi yang ditawarkan umpamanya, melalui pelestarian seni budaya, pengajaran bahasa-bahasa daerah di sekolah, menggunakan huruf/aksara daerah di tempat publik seperti di Tasikmalaya, atau mewajibkan warga berbahasa daerah setiap tanggal tertentu seperti dilakukan di Banten. Semua solusi itu, menurut Asim, tidak signifikan membantu bahasa daerah.

Yang paling signifikan adalah justru yang paling murah, yaitu orang tua harus tetap menggunakan bahasa daerah kepada anak-anaknya di rumah. Cara ini berguna untuk menjaga agar tidak terjadi dislokasi antargenerasi pewarisan bahasa daerah. Soalnya, bagaimana mau menggunakan bahasa Sunda kalau kemampuan berbahasa Sunda si orang tuanya sudah merosot. Bahasa Sunda seperti apa yang kemudian lahir dari generasi semacam itu?

**

SEMENTARA di tempat lain, kosakata baru terus hadir. Umumnya diserap dari bahasa Inggris. Berbagai kosakata bahasa Indonesia segera saja terasa kuno atau kampungan dan hanya hidup di halaman-halaman kamus. Di mana di dunia seperti itu bahasa daerah hidup? Kita sepertinya tengah bergerak dari kampung, menuju kota, dan kini berambisi ke luar negeri. Bahasa daerah digunakan sekali-sekali sebagai bahasa udik saat kita mudik.

Dalam kondisi seperti itu, upaya yang dilakukan Pusat Bahasa menjadi menarik. Bahasa-bahasa yang tinggal di udik itu kini ditawarkan untuk secara resmi menjadi kosakata bahasa Indonesia. Dari Jawa Barat, lewat Balai Bahasa Bandung, lebih dari lima ratus kata dalam bahasa Sunda diusulkan untuk menjadi bahasa Indonesia.

Ratusan bahasa lainnya diusulkan dari seluruh penjuru tanah air. Untuk apa? Untuk sebuah projek ambisius bernama “Kamus Sangat Sangat Besar Bahasa Indonesia” karena ukurannya yang jauh lebih besar dibandingkan dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Kita tidak tahu, apakah upaya semacam itu akan membantu memperkuat bahasa Sunda

Tidak ada komentar: